JAM

Rabu, 19 Oktober 2011

Proyeksi Politik Indonesia 2011

Tahun 2011 ini politik Indonesia masih akan mengalami dinamika yang tinggi meski tanpa substansi demokratik dan minus misi kenegaraan.


Politik akan segera disibukkan dengan masalah reshuffle kabinet yang telah tertunda lama akibat ketidaktegasan Presiden SBY dalam menata pemerintahannya.

Melihat pola pergantian pejabat yang ada, SBY tampaknya akan mengecewakan rakyat kembali karena tidak mengganti para pejabat yang bermasalah, tidak kompeten, maupun tidak berprestasi. Jika ada penggantian, maka muka baru yang ditunjuk sepertinya tidak akan membawa perbaikan yang berarti.

Rendahnya determinasi SBY untuk memperbaiki pemerintahannya sangat tampak pada pemilihan Jaksa Agung dan Kapolri, dua posisi strategis dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang diklaim SBY sebagai prioritas kerjanya. Alih-alih memilih tokoh yang sudah jelas dan teruji publik komitmen, keberanian, dan terobosonnya, presiden justru memilih pejabat dari lingkaran elit yang ada.

Ini merupakan kesalahan besar SBY karena mengganggu institusionalisasi tata pemerintahan yang baik dan meneruskan sindrom orang kuat. Jika SBY percaya dan punya resoluteness untuk memperbaiki birokrasi dan pemerintahan, maka SBY harus berani memilih orang yang mumpuni, terlepas afiliasi politiknya maupun keterkaitannya dengan lembaga negara tersebut untuk mengisi jabatan-jabatan politik yang ada.

Setelah melontarkan isu capres 2014 yang sempat membuat kebisingan politik, Demokrat sebagai partai penguasa tampaknya ingin lebih aktif mengelola dinamika politik di tahun 2011. Mereka tidak ingin menjadi pariah politik seperti tahun lalu ketika dihajar oleh sekutu-sekutunya sendiri di koalisi seperti dalam kasus Century. Untuk itu akan ada berbagai isu lain yang keluar di tahun ini. Mereka ingin menjadi pihak yang aktif melempar bola, dan tidak defensif atau reaktif lagi.

Dalam revisi UU Pemilu, partai ini tentu akan memanfaatkan posisinya sebagai veto player untuk mengarahkan pembahasan yang sesuai dengan kepentingan elektoralnya sebagai partai penguasa yang besar. Sebagai the basis of all political processes, UU Pemilu sangat penting karena dari situlah semua kompetisi politik dan seleksi politisi didasarkan pada pasal-pasalnya. Setelah terpilih menjadi anggota DPR, para politisi menjadi law-makers dan pengawas pemerintah.

Dalam pembahasan ini, transaksi politik tidak akan terhindarkan karena ada banyak kepentingan partai-partai menengah dan kecil sekutunya yang menjadi taruhannya. Demokrat tentunya tidak ingin menjadi partai kerdil yang terkondisikan untuk mengalah pada tekanan-tekanan sekutu juniornya. Untuk itu, akan ada isu-isu untuk pengalihan maupun rekonsiliasi, entah terkait dengan pengisian jabatan politik, proyek pemerintah, maupun tebang pilih kasus hukum yang besar.

Selain itu, tahun ini akan ada ratusan pilkada yang menjadi sangat strategis untuk kepentingan elektoral di tahun 2014. Guna mengantisipasi semakin menguningnya atau memerahnya pemerintahan lokal, Demokrat perlu merumuskan strategi jitu untuk mengoptimalkan kemenangannya. Hanya mengandalkan kekuatan uang maupun mesin pencitraan tentu tidak menjamin kesuksesan di kompetisi lokal.

Untuk itu, Demokrat tentunya ingin mengelola persaingan dengan para sekutunya melalui berbagai upaya politik transaksional maupun jika diperlukan intimidasi politik. Dengan memiliki akses luas ke pemerintahan, partai ini dapat menawarkan pola kerjasama politik tertentu yang dapat meminimalisir potensi perlawanan politik sengit dari para mitra koalisinya di pemerintahan nasional. Sebab jika Demokrat hanya menyerahkan pada mekanisme partai di daerah, selama ini banyak kekalahan pahit yang telah ditelannya. Dengan mensikronkan politik nasional dan lokal, maka partai ini akan memiliki peluang lebih besar untuk menguasai pemerintahan daerah.

Namun tampaknya sumber daya manusia di partai tidak memungkinkan untuk berjalannya strategi seperti ini, dan tentunya dapat diduga kekalahan demi kekalahan di pilkada akan kembali dialami partai ini. Jika ini menjadi kenyataan, dan dibarengi menurunnya kepuasan publik terhadap SBY maupun Demokrat, maka pada akhir tahun partai ini akan mengalami demoralisasi yang serius. Jika trend ini terjadi, maka akan muncul lebih banyak lagi kontroversi maupun friksi politik karena adanya kepanikan di antara elit partai yang seringkali susah dikendalikan omongan maupun perilakunya.

Kecenderungan ini akan lebih mudah menjadi kenyataan karena tahun ini juga pemerintah harus membuat berbagai kebijakan yang kurang populis seperti pengurangan subsidi yang akan menaikkan beban masyarakat maupun pengerjaan berbagai proyek infrastruktur yang telah lama dijanjikan. Jika pada kebijakan pertama akan muncul polarisasi partai pro-pemerintah dan pro-rakyat, maka untuk yang kebijakan kedua akan muncul partai yang diuntungkan dari proyek-proyek besar tersebut. Friksi terbuka sangat mungkin terjadi karena itu semua bermuara pada perebutan kapital politik, yaitu uang dan image.

Dalam banyak hal, kegaduhan politik yang akan terjadi di tahun 2011 tidak terlepas dari peran dan kelemahan Presiden SBY. Sebagai presiden dan pengendali kekuatan politik terbesar, SBY terjebak dalam kondisi sebagai pihak yang paling aktif bekerja, peduli rakyat, namun terzalimi oleh kritik-kritik yang tidak mendasar. Dengan merasa selalu menjadi korban konspirasi politik maupun pembunuhan karakter, secara tidak sadar SBY telah merasa nyaman dengan kondisi psikologis seperti itu. Akibatnya dalam banyak hal komentar, kebijakan, maupun sikapnya kurang menunjukkan presidential stature yang sudah memerintah pada periode terakhir.

Problem ini memang tidak bisa diatasi karena masih kuatnya personalisasi politik Indonesia. Seandainya presiden memiliki kematangan politik, tentu ia akan memberi kewenangan yang lebih luas kepada pembantu-pembantunya yang cakap untuk mengkompensasi kelemahannya, bukannya justru merah telinganya jika mendengar kritik. Sayangnya juga, para pembantu presiden saat ini lebih banyak yang oportunis karena mereka sadar mungkin periode ini adalah kesempatan terakhir mereka untuk mengakumulasi kekayaan maupun pengaruh karena belum tentu pada periode setelah SBY mereka ini akan terpakai lagi. Untuk itu, mereka akan lebih memprioritaskan kedudukannya serta kedekatannya dengan SBY, bukan kepentingan rakyat luas maupun masalah besar yang ada.

Selain masalah-masalah politik kelembagaan terkait reshuffle kabinet, pembahasan UU politik, pilkada, kongres partai, kebijakan kontroversial seperti pembangunan gedung baru DPR atau pengurangan subsidi, maupun lemahnya penegakan hukum, tahun ini juga akan diramaikan dengan makin terkuaknya perilaku korup maupun masalah hukum banyak elit politik. Dengan semakin banyak elit politik yang secara terbuka ingin berkompetisi di 2014, maka akan semakin banyak kasus yang melibatkan mereka menjadi terbuka maupun menjadi sorotan publik dan ini akan mengakibatkan efek berantai yang luas karena menyangkut kepentingan elektoral partai pendukungnya. Politik akan tetap ramai, namun penderitaan rakyat hanya menjadi komoditas semata guna mencari simpati maupun pembuatan citra diri politisi dan pemimpin negeri ini.
* karikatur oleh Yoshi Andrian.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites