JAM

Rabu, 26 Oktober 2011

Korupsi Politik

BAGAIMANA politik Indonesia? Itu pertanyaan yang lazim saya dapatkan. Saya masih di Ankara ketika tulisan ini ditulis dan politik di sana begitu tenang pasca-pemilu. Sekarang di Turki komposisi kekuasaan baru tengah terjadi, dimana Partai Keadilan dan Pembangunan (AK Party) tetap dominan setelah menang dengan persentase hampir 50 persen. Pihak pemenang dan oposisi tengah merencanakan duduk bersama merancang konstitusi baru, sebuah agenda politik penting pasca-pemilu. Adapun kondisi masyarakat sehari-hari sangat biasa-biasa saja, rutin, seolah tak terjadi apa-apa dalam dunia politik mereka.

Kalau Anda adalah saya, mau dijawab bagaimana pertanyaan di atas. Mungkin Anda akan jawab spontan, korupsinya. Jawaban itu memang agak kurang ajar, tetapi, tidak sepenuhnya dapat disalahkan, mengingat kalau kita baca suratkabar-suratkabar Indonesia memang isu korupsi politik menghiasi halaman-halaman mereka. Korupsi politik memang tengah menjadi sorotan di mana-mana, seiring dengan praktik demokrasi langsung kita. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sistem kita membuat orang baik-baik menjadi abu-abu sekali, ketika masuk ke ranah politik. Anda mungkin berpendapat ekstrem begini, bahkan malaikat pun, kalau mau ikut campur masuk ke ranah politik Indonesia, tidak bisa lagi mempertahankan kemalaikatannya. Tapi, di sisi lain, kalau Anda politisi, mungkin akan protes agar politik tidak dipandang secara sinis. Politik tak hanya sekedar berurusan dengan moral. Tapi, sayangnya para filosof memandang politik sebagai urusan moral. Kritik-kritik terhadap praktik-praktik politik adalah kritik-kritik moral.

Kolega saya yang jurnalis di Ankara mengatakan bahwa korupsi politik memang lazim terjadi di negara berkembang. Ia tidak mengatakan bahwa kalau negara sudah maju, korupsinya tidak ada. Saya belum membaca apakah kemajuan Turki sekarang karena sedikit korupsinya. Tetapi, yang sering saya dengar dari mereka adalah, bahwa pemerintah AKP cukup kredibel. Nyaris tak ada berita-berita korupsi saat ini, kecuali, yang saya baca dari suratkabar-suratkabar Turki adalah peradilan terhadap militer aktif dan mantan militer yang diduga terlibat percobaan kudeta (kasus Ergenekon dan Sledgehammer).

Tak adanya korupsi membuat pamor pemerintah naik. Lebih dari itu, saya kira yang cukup penting adalah sudah berkembangnya sedemikian rupa tradisi check and balances. Oposisi benar-benar bertindak sebagai pengawas, atas perilaku dan kebijakan pemerintah. Saya kira itu juga penting untuk menghindari atau mencegah praktik-praktik korupsi politik. Oposisi harus berdaya, kelompok-kelompok civil society juga harus independen dan kritis. Media massa juga harus demikian. Kalaupun ada kelompok masyarakat dan media yang pro atau kontra dengan pemerintah, maka itu wajar, asal masih dalam koridor perdebatan yang konstruktif. Bukan berdebat dengan melempar rumor yang tak dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka di hadapan publik.

Isu-isu korupsi yang menyembul di dunia politik kita, tentu membuat lembaran sejarah politik kita memang kurang menyenangkan. Orang sering bertanya, yang jawabannya pasti susah dijabarkan, yakni sampai kapan hal-hal demikian (korupsi) berakhir, dan kita menapaki tradisi dan proses politik yang bersih di Tanah-Air? (M Alfan Alfian, FISIP Universitas Nasional, Jakarta)


0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites